A. Pengertian Ilmu Akhlak
Khuluk
itu adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu.”
Ada lima ciri dalam perbuatan akhlak,
yaitu : Pertama, akhlak tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga
menjadi kepribadiannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
mudah dilakukan tanpa pertimbangan. Ketiga, perbuatan akhlak timbul dari
diri sendiri, bukan karna paksaan. Keempat, perbuatan akhlak adalah
perbuatan sungguh-sungguh, bukan bersandiwara. Kelima, perbuatan akhlak
adalah perbuatan ikhlas karena Allah swt.
Adapun pengertian ilmu akhlak adalah
Ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Akhlak
Ilmu akhlak membahas perbuatan manusia yang
dilakukan secara sadar, atas kemauan sendiri, tidak terpaksa dan bukan
sandiwara, lalu menetapkannya kedalam perbuatan baik atau buruk. Dengan kata
lain, Ilmu Akhlak membahas upaya mengenal prilaku manusia. Sehingga Ilmu Akhlak
berkaitan dengan norma penilaian terhadap prilaku seseorang.
C. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Ilmu akhlak berfungsi memandu manusia
agar mampu menilai, menentukan dan menetapkan perbuatan baik atau buruk.
Sehingga orang yang mampu membedakan perbuatan baik dan buruk tersebut
terdorong untuk dapat melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Secara
ringkas, Ilmu Akhlak memberikan pedoman penerangan bagi manusia dalam berbuat
atau bertindak.
Bab 2 Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Lainnya
A. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Tasawuf terbagi tiga, yaitu : Pertama,
Tasawuf Falsafi dengan pendekatan akal pikiran, seperti filsafat tentang Tuhan,
manusia, dan hubungan antara keduanya. Kedua, Tasawuf Akhlaqi dengan tahapannya yaitu : tahalli (membuang akhlak tercela), takhalli (mengisi akhlak terpuji), tajalli (terbukanya hijab antara
manusia denganTuhan). Sehingga hubungan Ilmu Akhlak dengan Tasawuf dapat
dilihat bahwa akhlak adalah salah satu pendekatan tasawuf. Ketiga, Tasawuf
Amali dengan pendekatan ibadah. Hubungannya dengan Ilmu Akhlak adalah dengan
Tasawuf Amali orang dapat menjadi taqwa sehingga akan berakhlak mulia.
B. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid pada intinya berkaitan
dengan keimanan. Sehingga terlihat jelas hubungan antara Ilmu Akhlak dengan
Ilmu Tauhid bahwa orang yang mantap dalam Ilmu Tauhid (keimanannya) akan
berbuat baik.
C. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa
Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mengkaji
tentang potensi psikologis manusia. Sehingga Ilmu Jiwa memberikan informasi
secara teoritis kepada Ilmu Akhlak, untuk membangun akhlak yang kokoh.
D. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk pembangunan
karakter atau dengan kata lain sebagai pembinaan akhlak. Sehingga jelas, bahwa
pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia berakhlak.
E. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Filsafat
Salah satu obyek Filsafat yang berhubungan dengan
Ilmu Akhlak adalah tentang manusia. Menurut Ibnu Khaldun, manusia adalah
makhluk budaya yang kesempurnaannya akan terwujud jika mampu bersosialisasi.
Hal ini menunjukkan perlunya pembinaan dalam bidang akhlak. Selanjutnya, Ilmu
Filsafat membahas tentang Tuhan, alam, dan makhluknya. Sehingga akan diketahui
bagaimana cara berinteraksi dengan tuhan, alam, dan sekittarnya. Dan hal ini
merupakan salah satu aspek akhlak.
Bab 3 Induk Akhlak Islami
Akhlak
secara garis besar terbagi dua, yaitu akhlaqul
karimah ( baik) dan akhlaqul mazumah (buruk).
Akhlak terswebut berinduk pada tiga perbuatan utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira),
dan iffah (men jaga diri dari dosa
dan maksiat). Ketiga hal ini berinduk pada sikap adil, yaitu sikap pertengahan
atau seimbang dalam menggunakan potensi rohaniah, yaitu : ‘aql (pikiran) yang berpusat dikepala, ghadab (amarah) yang berpusat didada, dan syahwat (dorongan seksual) yang berpusat diperut.
Dengan
demikian inti akhlak bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan aspek
rohaniah, yang selanjutnya berkembanglah teori pertengahan, yaitu sikap
seimbang sebagai pangkal dari kebajikan. Dalam Islam, teori pertengahan ini
sejalan dengan al-Qur’an, bahkan al-Qur’an dalam menerangkan sikap adil jauh
lebih lengkap, mendetail, dan komprehensif.
Bab 4 Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Akhlak
A. Ilmu Akhlak diluar Agama Islam
1.
Akhlak pada
Bangsa Yunani
Pertumbuhan
dan perkembangan ilmu akhlak pada masa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM).
Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah
pemikiran filsafat tentang manusia atau pemikiran tentang manusia.
Pandangan
dan pemikiran filsafat yang dikemukan para filosof Yunani itu secara
redaksional berbeda-beda, tetapi subtansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan
angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik dan merdeka dan
mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah air. Ajaran akhlak yang dikemukakan
para pemikir Yunani bersifat rasionalistik. Baik dan buruk di dasarkan pada
akal dan pikiran. Sehingga Akhlak pada Bangsa Yunani bersifat anthropocentris
(memusat pada manusia).
2.
Akhlak pada
Agama Nasrani
Akhir
abad ketiga masehi tersebarlah agama Nasrani di Eropa yang mengajarkan
pokok-pokok ajaran Taurat dan Injil. Dalam Nasrani, tuhan adalah sumber Akhlak.
Tuhan yang menentukan pokok ajaran dalam kehidupan. Dengan demikian, ajaran ini
bersifat teocentris (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin).
3.
Akhlak pada
Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)
Masa
ini, Eropa dikuasai oleh gereja. Gereja memerangi dan menentang penyiaran ilmu
dan budaya kuno. Menurut gereja, kenyataan “hakikat” telah ada pada wahyu yang
tentu benar. Namun, sebagian dari kalangan gereja ada yang mempergunakan
pemikiran yunani untuk memperkuat kekuasannya. Dengan demikian, pada masa ini
ajaran akhlak memadukan ajaran Yunani dan Nasrani.
4.
Akhlak pada
Bangsa Arab
Arab
zaman Jahiliyah tidak mempunyai paham tertentu tentang akhlak, karena tidak
berkembangnya kegiatan ilmiah. Pada masa itu arab hanya memiliki ahli hikmah
dan penyair yang mengajak agar berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk.
B. Akhlak pada Agama Islam
Akhlak menemukan bentuk sempurna dalam
Islam, dengan titik pangkal pada Tuhan dan akal manusia. Islam mengajak manusia
untuk beriman, percaya, dan taat pada Tuhan, juga membimbing manusia mencapai
kebahagiaan. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam
al-Qur’an terdapat kandungan ayat-ayat untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi
keburukan. Selanjutnya perhatian Islam terhadap akhlak terlihat dari
kepribadian Rasulullah. Namun demikian, Islam juga toleran terhadap akal dan
pikiran sehat. Sehingga Akhlak Islam memiliki dua corak, yaituu : Pertama, bercorak normatif, bersumber pada
al-Qur’an dan as-Sunnah, bersifat universal, absolut, dan mutlak. Kedua,
bercorak rasional dan kultural, bersumber pada logika dan adat, bersifat
relatif, nisbi dan berevolusi.
C. Akhlak pada Zaman Baruu
Akhir
abad lima belas, Eropa bangkit dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Salah satunya dalam bidang akhlak. Yang selama ini sudah ada, mereka
kritik dan perbaharui, serta patokan utama adalah logika. Sama halnya dengan
akhlak pada masa Yunani, pada masa ini banyak terdapat pemikir-pemikir dalam
bidang akhlak. Menurut mereka akhlak itu bersumberkan manusia dan tidak ada
hubungannya dengan wahyu. Dengan kata lain, akhlak pada masa ini bersifat
sekuler.
Bab 5 Etika, Moral dan Susila
A. Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos berarti watak, kesusilaan, atau
adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). Etika berhubungan dengan empat hal, yaitu : Membahas perbuatan
manusia, bersumber pada akal, berfungsi sebagai penilai perbuatan, dan bersifat
relatif dan nisbi.
B. Moral
Moral berasal dari bahasa latin, mos, mores yang berarti adat kebiasaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral adalah penentuan baik – buruk
terhadap perbuatan dan kelakuan. Moral dari segi istilah merupa kan istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan
yang secara layak dapat dikatakan benar, salah; baik, buruk. Pada dasarnya moral
berkonsep sama dengan etika, hanya saja moral menggunakan tolak ukurnya pada
norma-norma yang berlaku dimasyarakat atau adat istiadat.
C. Susila
Susila berasal dari bahasa Sansekerta, su dan sila. Su berarti baik,
bagus dan sila berarti dasar,
peraturan hidup, prinsip dan norma. Susila dapat berarti sopan, beradab, baik
budi bahasanya. Dengan demikian, susila mengacu kepada upaya membimbing,
memandu, mengarahkan, membiasakan diri dengan norma yang berlaku.
D. Hubungan Etika, Moral dan Susila dengan Akhlak
Dari fungsi dan perannya, etika, moral, susila dan
akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai perbuatan manusia untuk
ditentukan baik buruknya. Perbedannya terletak pada tolak ukur yang digunakan.
Jika etika menggunakan rasio akal, maka moral dan susila menggunakan adat
kebiasaan. Sedangkan, Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Bab 6 Baik dan Buruk
A. Pengertian Baik dan Buruk
Kebaikan adalah sesuatu yang berhubungan
dengan luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia. Sementara buruk
diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seharusnya, tak sempurna
dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai, tidak dapat diterima,
tercela, lawan dari bik dan bertentangan dengan norma. Pada dasarnya baik dan
buruk sangat relatif, tergantung pada yang menilai. Sehingg baik dan buruk
bersifat subyektif.
B. Penentuan Baik dan Buruk
1.
Baik dan Buruk
Menurut Aliran Adat Istiadat (Sosialisme)
Aliran
ini menerangkan bahwa baik adalah tunduk pada adat, dan buruk menentang adat.
2.
Baik dan Buruk
Menurut Aliran Hedonisme
Menurut
paham ini, kebaikan mendatangkan kenikmatan, kelezatan, dan kepuasan biologis,
dan sebaliknya.
3.
Baik dan Buruk
Menurut Aliran Intuisisme (Humanisme)
Menurut
paham ini, kebaikan sesuai dengan hati nuraninya.
4.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Utilitiarisme
Menurut
paham ini, bahwa yang baik adalah yang berguna.
5.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Vitalisme
Menurut
paham ini, kekuatan dan kekuasaanlah yang dianggap baik.
6.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Religiosisme
Paham
ini mengajarkan, bahwa kebaikan adalah sesuatu yang sesuai dengan risalah
Tuhan.
7.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Evolusi
Menurut
paham ini kebaikan adalah kelezatan dan kenikmatan yang berevolusi, atau cocok
dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berlaku
C. Sifat dari Baik dan Buruk
Baik dan Buruk bersifat berubah,
relative, nisbi dan tidak universal. Namun ada tolak ukur yang digunakan secara
universal, yaitu aliran intuisisme. Tetapi, tetap saja tidak semutlak wahyu
yang dari Tuhan.
D. Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam
Dalam Islam, baik dan buruk berdasarkan al-Qur’an
dan al-Hadits. Dalam Islam terdapat istilah-istilah yang digunakan untuk
menentukan baik dan buruk. Misalnya, al-hasanah
(sesuatu yang disukai dan dipandang baik) lawannya al-sayyiah. Lalu at-thayyibah
(kelezatan pada indra dan jiwa) lawannya adalah al-qabihah. Dan lain sebagainya. Dari varisai baik dan buruk
tersebut menunjukkan bahwa Islam lebih lengkap dan komprehensif dalam
menjelaskan baik dan buruk.
Bab 7 Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Hati Nurani
A. Kebebasan
Kebebasan yakni kehendak merdeka dalam
memilih perbuatan antara berbuatan dan tidak. Kebebasan terbagi tiga, yaitu :
Kebebasan Jasmani, untuk bebas mempergunakan anggota tubuh. Kebebasan Kehendak
(rohani), untuk bebas menghendaki sesuatu. Dan Kebebasan Moral, untuk bebas
berbuat jika ada kemungkinan untuk bertindak.
B. Tanggung Jawab
Tanggung Jawab adalah konsekuensi logis
yang harus dijalani atau dihadapi karena adanya kebebasan atau tindakan yang
diambil.
C. Hati Nurani
Hati Nurani (intuisi) adalah tempat
dimana manusia memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani cenderung pada
kebaikan.
D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani
dengan Akhlak
Perbuatan akhlak dilakukan atas dasar kemauan
sendiri, hal ini terjadi apabila terdapat kebebasan dalam kehendak. Selanjutnya
perbuatan tersebut menghasilkan perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan
dengan hati nurani. Sehingga perbuatan tersebut menggambarkan bahwa perbuatan
akhlak harus dilakukan atas dasar keikhlasan dan sesuai dengan hati nurani.
Disinilah letak hubungan antara Kebebbasan, Tanggung Jawab, dan Hati Nurani
dengan Akhlak.
Bab 8 Hak, Kewajiban, dan Keadilan
A. Hak
1.
Pengertian dan
Macam-macam Hak
Hak
adalah wewenang atau kekuasaan, untuk mengerjakan, memiliki, meninggalkan,
mempergunakan atau menuntut sesuatu.
2.
Macam-macam dan
Sumber Hak
Hak
secara garis besar terbagi tujuh, yaitu : hak hidup, hak mendapatkan perlakuan
hukum, hak memiliki keturunan, hak milik, hak nama baik, hak kebebasan berpikir
dan mendapatkan kebenaran. Hak-hak teresebut mutlak bersumber pada Tuhan.
B. Kewajiban
Hak menimbulkan kewajiban, yaitu
kewajiban menghormati terlaksananya hak-hak orang lain.
C. Keadilan
Dengan adanya hak dan kewajiban, maka
timbullah keadilan, yaitu pengakuan dan perlakuan terhadap hak (yang sah).
D. Hubungan Hak, Kewajiban dan Keadilan dengan Akhlak
Hak
merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak harus dilakukan sebagai hak. Akhlak
tersebut kemudian menjadi karakter, sehingga menimbulkan kewajiban untuk
melakukannya. Sedangkan keadilan merupakan induk akhlak. Disinilah letak
hubungan antara Hak, Kewajiban, dan Keadilan dengan Akhlak.
Bab 9 Akhlak Islami
A. Pengertian Akhlak Islami
Akhlak Islami adalah perbuatan akhlak
yang didasarkan pada ajaran Islam, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dan
menggunakan tolak ukur ketentuan Allah.
B. Ruang Lingkup Akhlak Islami
1.
Akhlak Terhadap
Allah
Akhlak
terhadap Allah dapat berupa tidak menyekutukan-Nya, takwa, ikhlas dan ridla,
bersyukur, beribadah dan lain sebagainya.
2.
Akhlak Terhadap
Sesama Manusia
Pada
dasarnya akhlak terhadap sesama manusia adalah berbuat, bersikap, dan berbicara
dengan baik antar sesama manusia.
3.
Akhlak Terhadap
Lingkungan
Dalam
Islam, manusia berkewajiban berakhlak terhadap alam, dengan cara menjaga
kelestariannya.
Bab 10 Pembentukan Akhlak
A. Arti Pembentukan Akhlak
Pembentukan akhlak adalah usaha
sungguh-sungguh dalam rangka membentuk manusia dengan menggunakan sarana
pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik secara konsisten.
B. Metode Pembinaan Akhlak
Ada beberapa metode dalam membina
akhlak, yaitu : Pertama, dengan menggunakan sarana peribadatan. Kedua,
pembinaan yang dilakukan sejak kecil secara kontinyu. Ketiga, adalah melalui
keteladanan.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Ada tiga hal yang mempengaruhi
pembentukan akhlak, yaitu : aliran nativisme, menyatakan faktor yang apaling
berpengaruh adalah bawaan dari dalam. Lalu aliran empirisme, menyatakan bahwa
lingkungan social yang paling berpengaruh. Dan ketiga aliran konvergensi, yang
merupakan campuran antara nativisme dan empirisme.
D. Manfaat Akhlak yang Mulia
1.
Memperkuat dan
Menyempurnakan Agama
2.
Mempermudah
Perhitungan Amal di Akhirat
3.
Menghilangkan
Kesulitan
4.
Selamat Hidup di
Dunia dan Akhirat
Bab 11 Arti, Asal-Usul dan Manfaat Tasawuf dalam
Islam
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga tercermin akhlak mulia dan dekat dengan Allah swt.
B. Sumber Tasawuf
Dikalangan para orientalis Barat terdapat pendapat
yang menyatakan bahwa yang menjadi sumber tasawuf ada lima, yaitu : unsur
Islam, Masehi (Nasrani), Yunani, Hindu/Budha dan Persia. Hal ini secara
akademik bias saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Karena
sebenarnya, tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam yang dipraktekkan oleh Nabi
dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari asas-asasya yang berlandaskan
al-Qur’an dan Sunnah.
Bab 12 Maqamat dan Hal
A. Maqamat
Maqamat berasal dari bahasa arab yang
berarti tempat atau pangkal mulia. Istilah ini digunakan untuk arti jalan
panjang yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah swt.
Menurut Muhammad al-Kalabazy (al-Ta’aruff
li Mazhab ahl al-Tasawuf) bahwa jumlah maqamat ada sepuluh. Menurut Abu
Nasr al-Sarraj al-Tusi (al-Luma’)
menyebutkan bahwa maqamat ada tujuh. Sedangkan menurut al-Ghazali (Ihya Ulum al-Din) menerangkan bahwa ada
delapan maqamat. Namun ada yang mereka sepakati bersama, yaitu :
1.
Al-Taubah
Taubat
adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan dengan janji tidak akan
mengulaginya.
2.
Al-Zuhud
Zuhud
artinya keadaan meninggalkan hal-hal duniawi.
3.
Al-Wara’
Wara’
adalah meninggalkan segala sesuatu yang didalamnya terdapat keragu-raguan (syubhat).
4.
Fakir
Fakir
yaitu tidak meminta lebih dari apa yang ada dalam diri kita.
5.
Sabar
Sabar
yaitu tabah dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta
kuat dalam menghadapi cobaan.
6.
Tawakkal
Tawakkal
adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
7.
Kerelaan
Rela
berarti tidak berusaha, tidak menentang ketentuan Allah.
B. Hal
Hal merupakan perasan mental, seperti
senang, sedih, takut dan sebagainya. Berbeda dengan maqam, hal didapat sebagai
anugrah dan rahmat dari tuhan. Selain itu, hal juga bersifat sementara, dating
dan pergi dari diri seorang sufi.
Bab 13 Mahabbah
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah
Mahabbah berasal dari bahasa arab ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang
artinya adalah cinta yang mendalam. Dalam tasawuf, mahabbah diartikan sebagai
kecintaan yang mendalam kepada Tuhan secara ruhiah, dengan sepenuh hati,
sehingga sifat-sifat yang ada pada Tuhan masuk kedalam jiwa yang mencinta.
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang tidak terkira.
Sedangkan dari kedudukannya, mahabbah lebih tinggi dibandingkan ma’rifah.
B. Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Ada tiga alat yang dapat berhubungan
dengan Tuhan. Pertama, al-qalb (hati)
untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, ar-ruh
( roh) untuk mencintai Tuhan. Dan Ketiga adalah sir yaitu alat untuk dapat melihat tuhan. Dengan demikian, alat
untuk mahabbah adalah roh, yaitu roh yang bersih dan suci dari dosa.
C. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah
Rabi’ah al-Adawiyah (713-801 H) adalah sufi wanita
yang memperkenalkan ajaran mahabbah,
beliau berasal dari Bashrah, Irak.
Bab 14 Ma’rifah
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifah
Ma’rifah berasal dari bahasa arab arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang
artinya pengetahuan atau pengalaman. Dalam arti sufistik, ma’rifah adalah
pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari. Tujuan ma’rifah adalah untuk
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Ma’rifah bisa berkedudukan sebagai maqam
ataupun ahwal.
B. Alat Untuk Mencapai Ma’rifah
Sebagaimana diuraikan pada bab dan
pembahasan sebelumnya, bahwa alat untuk mencapai ma’rifah adalah qalb (hati).
C. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah
Tokoh pertama yang mengenalkan ma’rifah
adalah al-Ghazali ( Abu Muhammad al-Ghazali) lahir tahun 1059 M di Tus,
Khurasan. Ia meninggal pada tahun 1111 M. Selanjutnya adalah Zun al-Misri yang
berasal dari Naubah, negeri yang terletak di Sudan dan Mesir. Ia wafat pada
tahun 860 M.
D. Ma’rifah dalam Pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis
Ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di
dalam al-Qur’an ada sekitar 43 kali kata
nur. Misalnya dalam Qur’an Surat al-Nur ayat 40 dan al-zumar ayat 22. Kemudian,
ada hadis yang artinya “Aku (Allah)
adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa
Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku
kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku (Hadis Qudsi). Hal ini
menunjukkan bahwa ma’rifah tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Bab 15 Al-Fana Al-Baqa dan Ittihad
A. Pengertian, tujuan dan Kedudukan al-Fana, al-Baqa
dan al-Ittihad
Al-Fana
berarti bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat Tuhan, atau hilangnya sifat-sifat tercela. Al-Baqa merupakan ahsil dari al-Fana, al-Baqa berarti kekalnya
sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Tujuan fana dan
baqa adlah untuk mencapai persatuan rohaniah antara manusia dengan Tuhan,
adapun kedudukannya sebagai hal. Adapun Ittihad adalah penyatuan antara diri
manusia dengan Tuhan, yang merupakan tujuan fana dan baqa.
B. Tokoh yang Mengembangkan Fana dan Baqa
Tokoh dalam hal ini adalah Abu Yazid
al-Bustami (w. 874), nama kecilnya adalah Tahifur.
C. Fana. Baqa dan Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an
Fana, Baqa dan Ittihad sejalan dengan liqa al-rabbi dalam Islam.
Bab 16 Al-Hulul
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Hulul
Hulul berarti Tuhan mengambil tempat
dalam tubuh manusia, atau ketuhanan (lahut)
menjelma kedalam diri insan (nasut).
Artinya tujuan Hulul adalah untuk penyatuan diri dengan Tuhan, atau istilah
lain bagi Ittihad.
B. Tokoh yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
Tokoh dalam paham ini adalah al-Hallaj (Husein Bin
Manshur al-Hallaj), ia lahir tahun 244 H (858 M) di Baidha, Persia. Ia pernah keluar masuk penjara, dan dijatuhi
hukuman mati pada tahun 309 H (921 H) karena dianggap menyesatkan.
Bab 17 Wahdat Al-Wujud
A.
Pengertian, dan
Tujuan Wahdat Al-Wujud
Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, wahdat ( sendiri, tunggal atau kkesatuan ) dan al-wujud ( ada ). Menurut ahli filasafat dan para sufistik wahdat al-wujud sebagai suatu kesatuan
antara materi dan roh, substansi ( hakikat ) dan forma ( bentuk ), antara yang
lahiriah dan batiniah, antara alam dan Allah, karena alam hakikatnya qadim dan
berasal dari Allah. Dalam wahdat al-wujud
yang terpenting adalah aspek batin, karena hakikatnya lahiriah adalah
bayangannya. Sehingga paham ini menganggap alam semesta adalah copian dari
Allah, sehingga yang ada hanya wujud Allah.
B.
Tokoh yang
Membawa Paham Wahdat Al-Wujud
Paham
ini dibawa oleh Muhyiddin ibn arabi, lahir di Murcia, Spanyol. Ia masuk aliran
sufi setelah pindah ke Tunis, Tahun 1202 hijrah ke Mekkah, dan meninggal di
Damaskus tahun 1240. Buku yang dikarangnya mencapai lebih dari 200 buku.
Bab 18 Insan Kamil
A. Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil berasal dari bahasa arab,
yaitu insan = manusia, dan kamil = sempurna. Dari segi tasawuf insan kamil
lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi intelektual, rohaniah,
intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah, dan yang lainnya yang bersifat
batiniah.
B. Ciri-ciri Insan Kamil
1.
Berfungsi akal
sehatnya secara optimal;
2.
Berfungsi
intuisinya;
3.
Mampu
menciptakan budaya;
4.
Menghiasi diri
dengan sifat-sifat Ketuhanan ( sifat baik )
5.
Berakhlak Mulia
6.
Berjiwa seimbang
( adil )
Bab 19 Tarikat
A. Pengertian dan Tujuan Tarikat
Tarikat berasal dari bahasa arab, thariqat yaitu jalan, keadaan, aliran
dalam garis sesuatu. Tarikat secara tasawuf berarti sistem dalam rangka
mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat tercela dan mengisinya
dengan sifat terpuji dan memperbanyak zikir dengan ikhlas agar dapat bertemu
dan bersatu dengan Tuhan. Tarikat dilakukan sesuai ajaran yang dicontohkan
Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tarikat bertujuan untuk
dapat dekat dan dan bertemu dengan Allah, artinya tarikat sejalan dengan
tasawuf. Dalam perkembangannya tarikat menjadi kelompok-kelompok. Sehingga
tarikat adalah tasawuf yang melembaga.
B. Tarikat yang Berkembang di Indonesia
Ada
tujuh aliran tarikat yang berkembang di Indonesia, yaitu :
1.
Tarikat
Qadiriyah, didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166), cirri tarikat
ini adalah bacaan manaqib, yaitu riwayat hidup dan pengalamn sufi Abdul Qadir
Jaelani. Tarikat ini tersebar di Tiongkok sampai ke Jawa.
2.
Tarikat
Rifa’iyah, didirikan oleh Syaikh Rifa’i ( Ahmad bin Ali bin Abbas). Tersebar di
Aceh, Jawa, Sumatera Barat, dan Sulawesi. Ciri khasnya adalah tabuhan rabbana
dalam wirid yang diikuti dengan tarian dan debus, yang diiringi zikir-zikir
tertentu.
3.
Tarikat Naqsyabandi,
didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin al-Bukhari (727-791 H), ia bergelar
Naqsyabandi. Tarikat ini banyak tersebar di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
4.
Tarikat
Samaniyah, oleh Syaikh Saman. Tarikat ini banyak tersebar di Palembang, dan
Jakarta. Ciri tarikat ini adalahberzikir dengan suara keras dan melengking.
5.
Tarikat
Khalwatiyah, didirikan oleh Zahiruddin. Tarikat ini banyak pengikutnya di
Indonesia, karena suluk dari tarikat ini sangat sederhana.
6.
Tarikat al-Haddad,
didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad, ia merupakan
wali qutub dan Arifin dalam ilmu tasawuf.
7.
Tarikat
Khalidiyah, dibangun oleh Syaikh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Tarikat ini berisi
tentangadab dan zikir, tawassul, adab suluk, tentang saik dan maqamnya, tentang
ribath dan bebrapa fatwa pendek.
Bab 20 Problematika Masyarakat Modern dan Perlunya
Akhlak Tasawuf
A.
Pengertian
Masyarakat Modern
Deliar
Noer menyebutkan ciri-ciri masyarakat modern sebagai berikut :
1.
Bersifat rasional;
2.
Erpikir untuk masa depan yang lebih jauh;
3.
Menghargai
waktu;
4.
Bersikap
terbuka;
5.
Beroikir
ibyektif.
Lalu,
Alfin Toffler membagi masyarakat menjadi tiga, yaitu masyarakat pertanian,
masyarakat industri, dan masyarakat informasi. Dan yang ketiga itulah yang
sering dikatakan masyarakat modern, yaitu penggunaan teknologi elektronika yang
canggih, mengukur kekayaan dengan kepemilikan informasi, dan pengalihan
agen-agen sosialisasi dari manusia menjadi mesin computer.
B.
Problematika
Masyarakat Modern
Dengan
pertumbuhan teknologi, maka tentu menciptakan nilai-nilai baru dalam tatanan
masyarakat, salah satunya adalah nilai negatif. Nilai-nilai negative tersebtu
menyebabkan problematika dalam masyarakat, sebagai berikut :
1.
Disintegrasi
Ilmu Pengetahuan
2.
Kepribadian yang
Terpecah ( Split Personality )
3.
Penyalahgunaan
Iptek
4.
Pendangkalan
Iman
5.
Pola Hubungan
Materialistik
6.
Menghalalkan
Segala Cara
7.
Stres dan
Frustasi
8.
Kehilangan Harga
Diri dan Masa Depannya
C.
Perlunya
Pengembangan Akhlak Tasawuf
Karena
masalah-masalah yang timbul tersebut adalah masalah-masalah batiniah, maka
perlu sesuatu yang mengobati secara batin pula, yaitu mengembang kehidupan yang
berakhlak dan bertasawuf.